Kamis, 28 November 2013

HARI GURU 2013

Bertemu lagi dengan peringatan hari guru di sekolah tempatku mengajar, SMA Negeri 1 Lemahabang.  Aku tahu tentang ini pertama kalinya tahun 2008, saat pertama aku ditempatkan. Waktu itu aku jadi juri lomba baca puisi atau karya cipta lagu. Lupa. Sejak saat itu aku interest dengan event ini. Aku suka geregetan dan tak sabar saja melihat anak-anak yg kurang gesit menangani acara. Maka, biasanya aku langsung ikut2an sibuk di belakang panggun, kadang malah ngurusi mikrofon atau alat musik yg gak  beres di atas panggung

Masih seperti tahun2 lalu, ada lomba puisi, padus, KCL, tumpeng, tart dan puding. Hanya saja belakangan ini beberapa lomba hilang tapi muncul lomba-lomba yang lain. Yg aku rindukan hanya satu : lomba dtama komedi. Acara yg satu ini pasti bikin seru, rame. Sayang ga ada lagi. Kapa ya ada lagi....

Harapanku semoga acara Hari Guru tahun 2013 ini berjalan lancar, sukses dan mengesankan.

Sabtu, 02 November 2013

T O P E N G

27 Mei 2012 pukul 6:02
T O P E N G
(puisiku untuk Gayatri Putri Pangestu)


Gendang tak lagi rampak menghentak
Denting gamelan tak lagi getarkan dedaunan
untuk bergoyang
iringi senandung kidung pujaan
.....
(ngawih..........)
.....
Sayup
Menjauh
Seperti sampurku yang hilang
satu demi satu

Duhai penguasa marcapada
Ke mana perginya derap tegap langkah kakiku ?
Ke mana pudarnya bara murka Kelana dalam merah topengku ?
Tak kudengar gemuruh ambisi dari merah nadiku
Busung dadaku tak lagi mampu tegakkan ujung daguku
Lemparan sampurku tak juga hempaskan laku licik kaum pecundang
Ambruk !
Remuk !
Tanpa jiwa
dalam gempuran gempita budaya bertopengkan kemajuan jaman
Topeng-topeng teknologi
Topeng-topeng ekonomi
Topeng-topeng demokkrasi
dan topeng-topeng yang membungkam hati nurani
Topeng-topeng menyerbu atas nama kekinian
Merasuk jauh ke dalam tulang belulang
Mengalir sepanjang aliran darah
di bumi Cirebonku

Topengku tak lagi berarwah kelana
Teronggok penuh debu ditingkap topeng-topeng Indie, K-pop dan Hip-hop

Topengku tak boleh mati !
karena masih kurasakan hangat semangat meski terasa lambat
karena aku masih melihat
senyum di bibirku masih cantik memikat
saat pecahan kaca riasku, kuangkat

Masih ada matahari esok pagi
Yang akan bangunkan topeng-topengku dari berjuta mimpi
Masih ada nafas cinta penerus generasi
yang akan wujudkan berjuta-juta mimpi

**
Cirebon Mei 2012

Rabu, 30 Oktober 2013

Suruh Dia ke Sini, Ngelamar Kamu !


Cerpen : Asih Dewayanti


Duh, aku ga nyangka bakal kaya begini. Ibu dan bapakku kompak banget marahin aku. Apa salahnya sih jika aku punya rahasia? Punya privacy? Aku sungguh pengen punya kamar sendiri. Di situ aku bisa lakuin apa saja yang aku suka. Tidur dengan gaya semauku, baca-baca cerita, corat-coret gambar, atau sms-an dan telpon-telponan sepuasnya. 
Sumpah, aku pengen banget kaya teman-temanku, terutama teman satu geng-ku. Rasanya mereka punya kebabasan yang jauh lebih banyak dari aku. Aku belum pernah mendengar mereka mengeluh telah ditegur atau dimarahi ibunya jika pulang maen kesorean. Juga belum pernah ada yang mengeluh karena hp-nya disimpan paksa oleh orangtuanya. Bahkan aku asik-asik saja main game on-line di kamar temanku seharian.
Tapi coba apa yang terjadi denganku ? Huuuh, sebel....sebel....sebellllllll. Super sebelnya. Semuanya diatur, semuanya terasa salah di mata orangtuaku.
Semua ini pastilah gara-gara aku ga pinter menyimpen rahasiaku sendiri. Selama ini ibuku cuma selalu dan selalu mengingatkan agar aku tidak tidur terlalu malam. Aku cuma mengiyakan, padahal aku sering sms-an sampai ketiduran dalam kamar (yang ku-klaim sebagai kamarku sendiri). Pagi itu aku susah sekali bangun meski pintu kamar sudah digedor-gedor oleh kedua orangtuaku. Mereka membangunkan aku untuk sholat Subuh. Dengan sangat malas aku ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu dan sholat Subuh. Hampir setiap pagi ibuku ngomel-ngomel seperti ini gara-gara aku susah bangun pagi.
Nah, usai sholat maghrib, aku dengan kakak perempuanku dipanggil dan diajak bicara. Tepatnya diminta untuk mendengarkan ibuku bicara. Tidak ada teriakan atau marah-marah. Tidak ada. Ibuku bicaranya pelan, lambat, tenang, meski aku merasakan ada emosi amarah yang sungguh tertahan.
" Jika ada lelaki, siapa pun itu, lalu bilang sayang atau cinta pada kalian, jangan percaya. Apalagi sambil memuji kalian ini cantik, pintar, manis, membuat rindu, sekedar lewat sms di hape kalian. Sekali lagi dan untuk ke sekian kalinya : jangan pernah percaya. Tapi jika kalian tak percaya kata-kata ibu ini tidak apa-apa. Percayalah saja pada laki-laki yang membuat hati kalian berbunga-bunga. Tak apa. Hanya saja ibu minta pada kalian, agar kalian sampaikan pada laki-laki itu untuk menghadap ibu dan ayah kalian ini . Segera ".
" Menghadap ? Untuk apa ?" tanyaku. Berjuta tanya menari-nari di benakku.
" Sekalian dengan keluarga besarnya".
" Keluarganya ? Kenapa?"
" Ya. Sekalian suruh bawa mahar untuk melamar kalian. Ibu dan ayah akan nikahkan kalian ".
" HAHHHH ? Nikah ?"
" Ya. Tidak aneh, bukan ?"
" Kan kami masih sekolah ? Kok disuruh nikah ? Nanti gimana dong sekolahnya ? Nafkahnya ? Trus punya anak, gitu ? Kita kan masih kecil ?Belum lulus ? Belum kerja ?"
" Ya, benar. Benar itu. Kalian pintar walau kalian sadar kalian masih kecil...."
Aku menungggu perubahan reaksi di wajah ibuku. Terus menungu..... Tak ada. Tetap. Ibu hanya menatap wajah kami berdua dalam-dalam. Aku tak berani melawan tatapannya. Ini pasti gara-gara sms-sms ku semalam yang  tak kuhapus. Ya, aku memang sedang asyik-asyiknya berdekat-dekat dengan seorang kakak kelas di sekolahku. Dia cowo tampan pujaan cewek-cewek di sekolah, dia menanggapi sinyal "asmaraku" meski cuma lewat sms. Padahal aku tahu betul dia adalah pacar sahabatku sendiri. Aku cuma iseng. Cuma main-main.
" Jangan pernah main-main dengan api. kalian bisa terbakar", cess......rasanya ibu bisa membaca pikiranku. Punya ilmu dari mana dia. Aku kerap tak mampu bersembunyi dari pengawasannya. Beberapa kali aku berdusta, selalu katahuan, setidaknya curiga.
" Mulai hari ini, tak ada hp aktif setelah jam 9 malam. Tak perlu ibu merampaskan bukan ? Atau , jika kalian merasa ini masih juga tidak adil, kalian boleh pilih yang ini : Suruh lelaki itu ke sini melamar kamu !"
" Tapi kan ?........."
" Cukup jelas, kan ? Pikirkan baik-baik, lalu ambil keputusan besok pagi. Ibu mau mau istirahat dulu...". Lalu ibu beranjak dan duduk di dekat ayah yang sedari tadi hanya menjadi pendengar sambil menganggguk-angguk....
....ooooh, kali ini, ibu memang tidak main-main….

Cirebon, Oktober 2013

Senin, 25 Februari 2013

A R I S



                      
Cerpen :    Asih Dewayanti

Sore di sebuah SMA. Di sini mendung begitu pekat. Hujan telah turun sejak sekian menit yang lalu. Tepatnya sebelum sirine tanda istirahat berbunyi.
 
Anak-anak berhamburan keluar. Ada yang langsung menunaikan shalat Ashar, ada pula yang ke kantin atau sekedar duduk-duduk di teras kelas. Aku duduk di sini, di warung makan, tempat yang sebelumnya sangat tidak biasa bagiku. Tapi dua-tiga bulan terakhir ini, aku akrab dengan tempat ini.
Seorang laki-laki tanggung dengan seragam putih abu-abunya duduk tepat di depanku. Matanya menerawang rintik hujan yang mulai turun.

          “ Jadi gimana, Ris ? ” aku membuka pembicaraan. Aris, begitu ia disapa, tak menjawab. Pandangannya masih belum beranjak dari rintik hujan di sana. Barangkali ia sedang menghitung-hitung, akan seberapa lama lagikah hujan turun kali ini. Kutunggu jawabannya, ia masih tak bereaksi. Hffh, rasanya aku sudah terlalu sabar untuk bersikap selambat ini.

          “ Ini tidak menyelesaikan masalah, ” kataku akhirnya. Ingin rasanya bangkit, berdiri meninggalkannya. Aku sudah tak lagi punya energi untuk marah. Biarlah rekanku yang lain saja yang menanganinya dengan tindakan yang lebih  tegas. 

          “ Mau ibu apa ? “ ia balik bertanya. Terasa sangat menantang di telingaku. Kucoba meredam debur amarah di dadaku. Padahal aku bisa saja  membentak , atau menyeretnya ke sebuah ruang khusus untuk menghentikan kebandelannya. Ya. Bandel, itu kata teman-temannya, juga menurut rekan-rekanku.

          “ Menurutmu, apa mau ibu ? “ kataku tak kalah sinis, tapi kutekan suaraku sehalus mungkin.  Tak ada gunanya buang-buang energi dengan marah. Aku tak bisa menyebutnya anak bandel atau sebutan lain yang kurang pantas. Nyaris tak kutemukan catatan tentang kenakalan atau perilaku yang dapat dikategorikan sebagai kenakalan atau kejahatan. Hanya satu yang kutahu : tukang bolos. Bukan...bukan. Bukan bolos. Tepatnya, ia jarang hadir di sekolah dengan alasan yang tak jelas. Kalau di sekolah, ia baik-baik saja. Cenderung pendiam, malah. Jadi, bagaimana aku bisa menyebutnya anak nakal ? Anak bandel ?
          Menjelang ulangan semester lalu, pihak sekolah menghadirkan orangtua Aris sebagai salah satu upaya sekolah dalam mendidik siswanya.  Informasi yang kuperoleh, Aris selalu tepat waktu baik berangkat maupun pulang sekolah. Tak ada yang aneh. Maka kulihat ada kekecewaan dan kegeraman di mata laki-laki kekar berkulit gelap itu. Ayah Aris. Ia tak menyangka, anaknya telah mempermainkannya. 

            Masih tak mau bicara ? ” tanyaku lagi. Dia menatapku tajam. Tak mampu aku membaca apa yang tersimpan dalam tatap matanya. Ia terlalu berani dengan tatapan seperti itu.

          “ Aris mau dikeluarkan dari sekolah ya ? “ ia menyelidik. Ah, aku tak bisa menakut-nakutinya dengan jawaban “ya”. Hanya desah nafas panjangku yang ada.  Kini ganti aku yang memandangi rintik hujan di luar sana. Terdengar sirine tanda pembelajaran dimulai kembali. Anak-anak kembali ke kelas masing-masing. Aris pun bangkit dari duduknya hendak beranjak.

          “ Di sini saja,” aku menahannya. Meraih lengannya. Aku yang berpindah duduk di sampingnya. Kuharap, ini kali terakhir aku bisa menyelesaikan masalahku yang satu ini. Aku mau tahu semuanya. Ya, semuanya tentang Aris. Aku wali kelasnya.

          Aku ingat, Aris hadir hanya tiga atau empat hari saja dalam sepekan di sekolah. Ditambah dengan kehadirannya pada saat ulangan umum. Jadi bagaimana mungkin aku bisa mengisi rapornya dengan angka-angka yang pantas ? Guru mata pelajaran yang lain pun jelas menilainya tak tuntas dalam pembelajaran. Tapi sungguh, aku tetap tak bisa marah. Ini saat-saat terakhir sekolahnya.  Nasihat dan peringatan dari orangtua dan guru lebih dari cukup. Ah, mestinya aku tak ambil pusing dengan hal ini. Ia toh sudah tahu resikonya nanti : tidak lulus. Aris bukanlah siapa-siapa bagiku.

Beberapa waktu lalu aku sempat bicara dengannya. Seperti biasa, berdua, di tempat ini juga. Disaksikan oleh banyak pasang mata juga. Sebenarnya sejak saat itu tumbuh harapan di hatiku : Aris akan berubah. Aris bukan anak bandel.  Aris akan menjadi lebih baik. Aku tak berharap lebih. Ia tak harus pintar, tak harus nomor satu

Sejak saat itu , aku punya semangat yang luar biasa setiap hendak menuju sekolah ini. Sebuah sekolah swasta dengan jam belajar siang. Tiba-tiba saja nama anak itu menjadi magnit yang amat kuat buatku. Sehari.........., dua hari................, seminggu............, dua minggu. Ke mana Aris ? Ah aku kecewa. Aku kecewa karena aku berharap. Home visit telah kulakukan. Kini giliran ibunya yang hanya bisa menyesali ulah anaknya. Aris tak muncul juga. Ada apa denganmu, nak ? (Hm, aku jadi teringat judul sebuah lagu pop).

Mungkin aku memang tak bisa bersikap adil. Buat Aris, aku bahkan mau repot-repot mengirimnya buku kumpulan soal-soal ujian melalui salah seorang temannya. Ini sungguh di luar kebiasaanku. Dari situ aku berharap lagi, Aris akan berubah.

“ Aris mau pergi, Bu ” suara anak muda itu mengejutkanku. Deg. Sesaat seperti berhenti jantungku. Kini aku yang menatapnya. Hanya tampak samping. Aku mencari kesungguhan dari kalimat yang baru saja terucap. Dia menatap lurus ke depan. Cuma rintik hujan yang ada. Kutemukan ada beban dari tarikan nafasnya yang berat. Kentara betul ia menahan sesuatu.

          “ Pergi ? “ tanyaku. 

Ia mengangguk. Tertunduk. Ada apa anak manis ? Bagiku kau tidaklah seperti yang mereka duga. Entah dari mana rumusnya itu.  Aku teramat yakin bahwa kau adalah anak yang baik. Kau, mungkin bahkan sangat penurut.  Kau juga bukan anak yang suka menyakiti hati orangtua, guru, atau temanmu. Bukan. Hatiku berbisik.

          Aris adalah sulung dari empat bersaudara dengan tiga adik perempuan. Semua sangat sayang dan bangga padanya. Menyenangkan sekali  tentunya Ayahnya seorang juragan nelayan yang beringsut bangkrut karena kalah dalam persaingan usaha. Belum lagi sempat tertipu oleh orang yang mengaku hendak memberikan tambahan modal yang menggiurkan untuk kelangsungan usahanya. Dan, Aris adalah anak lelak satu-satunya yang menjadi tumpuan harapan !

          “ Terlalu berat buat saya, “ katanya suatu ketika. 

Hingga sampailah pada titik dimana ayahnya merasa dikhianati. Dipermainkan. Ya, saat sekolah mengirimkan surat panggilan untuk orangtua Aris. Maka, hal yang tak pernah diduga harus ia terima : pukulan keras dan telak di wajahnya. Belum pernah ia melihat ayahnya sedemikian murka. Tak ada tempat berlindung. Ketiga adik perempuannya hanya menangis melihat jagoannya disakiti secara fisik dan mental di depan mata. Anak muda itu tak punya kekuatan apa pun di rumah itu. Belum lagi di sekolah, ia seperti selalu sendiri dalam keramaian.

          “ Hanya Ibu yang membuat saya merasa punya arti. Hanya Ibu  yang berulang-ulang meyakinkan bahwa Aris anak baik. Aris bagai di awang-awang. Aris senang Ibu bilang begitu. Tidak seperti guru-guru yang lain. Tapi mereka benar,Bu. Aris bukanlah anak baik seperti yang Ibu katakan. Mereka tidak salah. Tapi Aris harus buktikan bahwa....”
          “ Bahwa yang Ibu katakan adalah benar ?”
          “ Ya. “ jawabnya mantap.

          Lalu ia mulai bercerita tentang perkenalannya dengan seorang gadis dalam sebuah perjalanan. Gadis yang baik dan lembut hati. Lelaki tanggung ini seakan menemukan pelabuhan tempat hatinya berlabuh. Lalu tanpa disadarinya ia terseret jauh ke dunia coba-coba. Dunia yang dikenalnya melalui gadis pujaannya. Bersama teman-teman sang gadis ia mulai belajar bolos, main PS, merokok dan nonton film yang tak layak tonton. Namun demikian, Aris tak mau kehilangan kebanggaan keluarganya. Ia harus tetap menjaga citranya sebagai anak kesayangan.  Berdusta, itu jalan yang ditempuhnya.

          Hari-hari pun berlalu hingga ia tak mampu sadari di sisi mana sebenarnya dirinya kini berpijak. Ia tak mau kehilangan “teman-teman baiknya”, juga tak ingin terlempar dari harmoni keluarganya. Kini, Aris harus memilih.

          “ Ibu, Aris terlibat. Aris takut, ......Aris,...Aris harus pergi, Bu...”

          “ Terlibat ? Terlibat apa?...M....maksudmu? “ tanyaku terbata-bata. Nyaris berteriak.  Kini aku yang ketakutan.  Please.....please...Jangan. ku tak berani membayangkan, bahwa berita yang sering kulihat di media massa itu ada di depan hidungku. Menyebut nama “narkoba” di depannya pun, aku tak punya nyali. Aku mohon, jangan ya Allah.....

          “ Aris terlibat, Ibu. Terlibat. Ibu mengerti, kan maksudnya? Narkoba, Bu “
DAR !!!! DAR !! Tepat, bersamaan dengan gelegar petir. Astaghfirullah, serasa copot jantungku. Tenggorokanku tercekat sesaat. Nyaris tak mampu bernafas. Hujan semakin deras. Langit semakin pekat. Sekian detik, aku tak tahu harus bagaimana. Pemuda jangkung berhidung mancung itu tertunduk dalam. Ada danau bening yang disembunyikan di sudut matanya. Basah......seperti cipratan air hujan di jendela kantin ini.
          Aku sungguh-sungguh tak tahu harus bagaimana. Harus berkata apa. Kuraih sebelah tangannya. Kugenggam erat. Erat sekali.  Ada dua guncangan hebat beradu. Tes. Pertahanannya jebol juga. Punggung tanganku basah oleh air matanya. Ingin aku menenangkannya, tapi justru akulah yang takut luar biasa.
          “ Apa yang bisa ibu lakukan untukmu, Nak ?” bergetar suaraku, mencoba untuk tegar. Ya Tuhanku, aku masih amat yakin, sesungguhnya Aris anak yang lembut hati.  Ya Allah, tiba-tiba saja aku merasa sangat takut kehilangan.  Ia jadi begitu berharga bagiku. Ia tak punya siapa-siapa di sini. Ia hanya percaya aku.
          “ Aris harus pergi, Bu “.
          “ Bulan depan ujian akhir”.
          “ Aris tidak akan lulus “.
“ Kau Belum mencoba “.
“ Tidak perlu “.
“ Perlu. Dan harus “.
 Ia tetap menggeleng.
“ Please..... Jangan kecewakan ibu. Juga yang lain “.

Ia diam. Dilepaskannya tangannya dari genggamanku. Ia menyeka matanya yang basah dengan ujung jarinya. Sekarang aku yang tak mampu mempertahankan kekukuhan yang kujaga sedari tadi. Butiran bening, mengalir juga di pipiku. Ada tanya dan tanya bermunculan di benakku. Sejauh mana Aris terlibat ? Apa yang harus kulakukan ? Melapor ? Menasihati ? Memarahi ? Oh, my God .... Sunguh-sungguhkah ia akan pergi ? Ke mana peginya ? Lalu bagaimana...bagaimana dengan.....ah !

          “ Aris ke kelas dulu ya Bu? Aris ketinggalan ulangan , ” ia bangkit. Hujan masih deras. Makin dingin. Aku berharap langit tak selamanya seperti ini. Suram. Aku mau dan aku yakin esok mentari kan bersinar cerah. Kuharap.......aku masih boleh berharap.

          “ Terima kasih. Ibu terlalu baik buat Aris. Aris sayang sama Ibu.” Ia tersenyum tipis. Ia tunduk ta’dzim dan mencium punggung tanganku. Kuiiringi langkahnya dan kupandangi punggungnya yang basah di tengah guyuran hujan. Ada yang hilang di sudut hatiku, sebelum ia benar-benar pergi.............*

Inspirated from
the real story of Hari