Kamis, 16 April 2015

PENGEMIS



Cerpen : Asih Dewayanti
           
Bukan…., pasti bukan ! Aku mencoba menepis bayangan yang begitu jelas tergambar di benakku. Sekali lagi kuusap-usap mata ini dengan ujung jariku…. Ah, dia lagi. Aku melihat dengan jelas bahwa lelaki compang-camping itu seperti…….. suamiku !

Ciiiiiiiii……tttt ‼
Ya Tuhan, nyaris saja, andai aku tak segera menginjak rem mobilku. Hujan lebat malam itu begitu kuat menyeretku masuk ke dalam lamunanku. Dan….laki-laki itu ‼ Orang yang baru saja melintas di hadapanku, menyeberang jalan, di tengah guyuran hujan. Pengemis ! Ya. Pengemis itu !
            
        Laki-laki itu menghilang di kegelapan malam. Ya Tuhan, ampuni aku. Aku tak pernah bermaksud menganggap suamiku adalah seorang pengemis. Sama sekali tidak. Berulang-ulang mulutku mengucap istighfar. Suamiku adalah lelaki terbaik untukku. Dia bapak dari anak-anakku. Bersama-sama kami menjalani kehidupan rumah tangga ini, dalam suka maupun duka. Tidak mungkin aku melihatnya, atau menganggapnya sebagai seorang pengemis.

 "Tak baik menutupi perasaan yang sebenarnya, Arni ,” ucap Fina. Dia sahabatku semasa SMA yang kini menjadi seorang psikolog.

Dua bulan terakhir ini aku memang sedang dalam masa terapi. Aku merasa ada yang tak beres dengan diriku. Entah apa itu. Setiap kali aku melihat, bicara, menyebut nama atau bahkan sekedar mengingat suamiku, selalu saja aku melihatnya seperi, maaf, seorang pengemis dengan pakaian kumal yang menengadahkan tangannya meminta belas kasihan padaku. Jauh dari keadaan yang sebenarnya. Lelaki gagah yang penuh wibawa dan banyak teman. 

 “Kau hanya iba padanya. Sekedar kasihan. Kau juga mengasihani diri sendiri. Kau tak ingin dianggap sebagai orang yang tak pandai berterima kasih. Kau juga tak mau disebut perempuan yang tak bahagia “.

“ Sok tahu, ” bantahku. Fina hanya tersenyum. “ Aku sangat bahagia “, imbuhku. 
“ Bukan sok tahu, Arni. Kau sendiri yang mengatakan itu. Kau tidak bahagia “.
“ O, ya ?” tanyaku , menyelidik. Mencoba mengingat-ingat apa yang kuucapkan selama menjalani terapi. Ah, aku tak pernah katakan bahwa aku tidak bahagia.

“ Aku tidak pernah membuat klienku kehilangan kesadaran. Mereka tetap sadar. Dan kau ? Kau justru berada dalam kondisi yang sangat sadar, sesadar-sadarnya. Kau katakan semua yang kaurasa dengan jujur. Apa adanya. Kau masih ingat semuanya, bukan ? “ perempuan itu seperti menelanjangiku. Aku hanya mengangkat kedua bahuku, seperti tak ingin dia tahu yang sebenarnya.
 “ Kapan kau mulai melihatnya seperti itu ?”

“ Entahlah. Sudah lama, makin hari makin parah ”.

Bayangan itu semakin tampak nyata saat Fina memintaku untuk memejamkan mata dan menghirup nafas dalam-dalam. Berulang-ulang itu kulakukan hingga aku merasakan rongga dadaku telah berganti dengan oksigen segar. Aku merasakan udara yang demikian sejuk sehingga aku bisa begitu leluasa berbicara. Lalu aku menceritakan tentang kebiasaan suamiku minta bantuan uang padaku untuk tambahan modal usahanya. Usaha ini, usaha itu. Beberapa kali aku dimintanya untuk meminjam dana ke bank dengan menjaminkan SK kepegawaianku. Tak hanya itu, dia juga memintaku menjaminkan apa saja yang kumiliki untuk mendapatkan sejumlah dana. Aku terima, aku tak apa-apa. Aku percaya, bantuanku untuk orang yang paling aku cintai tak akan pernah sia-sia. Usahanya toh untuk keperluan keluarga juga. 

            “ Usahanya berjalan lancar ? Ada hasilnya ? ” tanya Fina.
            “ Pernah “, jawabku.
            “ Pernah ? ”
            “ Ya, pernah  “.
            “ Lalu ? ”
            “ Belum lagi. Tapi tak apa. Gaji dan tunjanganku masih cukup “.
            “ Kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu, Arni ? Kau tak pernah tuntut apa pun dari suamimu ? “
“ Aku merasa lebih dari cukup. Aku sudah atur keuanganku sebaik mungkin. Asuransi kesehatan dan pendidikan juga sudah kupersiapkan matang-matang. Usaha propertiku juga lancar. Tak apa, tak ada ada masalah “, jawabku.

“ Hmmm ? ” perempuan itu manggut-manggut. Lalu membuka lembar-lembar catatan, mungkin mengulik kembali pengakuan-pengakuanku pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Aaaah…percuma. Ini tak akan meperbaiki keadaan. Sepertinya aku justru membuka-buka begian hidupku yang semestinya tak perlu orang lain tahu.

“ Adakah yang salah ? Satu hal yang patut kau tahu, suamiku sungguh-sungguh bukan pengemis ! B u k a n pengemis !” aku nyaris berteriak. Aku tak terima dengan sebutan tidak bahagia jika ukuran kebahagiaan adalah ketercukupan ekonomi. Aku bisa bisa punya rumah dan mobil sendiri meski bukan barang mewah. Aku tak pernah terlilit banyak hutang.

Aaaaah…………., aku ingin jujur saja Tuhan. Jujur padaMu. Aku tak mau tenggelam dalam status-status palsu seperti pandai bersyukur atau istri yang sholihah ! Aku bukan itu! Bukan perempuan gagah yang tak butuh laki-laki ! Bukan semuanya! Aku tetaplah perempuan yang ingin dinafkahi, dilindungi, dimanja, dan aku ingin merasakan bergantung pada  laki-laki. Selama ini aku merasa mampu bahkan sangat mampu memenuhi segala kebutuhan keluargaku, membantu saudara-saudaraku, termasuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan usaha suamiku. Aku sanggup. Aku selalu ingin tampak perkasa di mata suamiku. Aku bukan perempuan cengeng, bukan perempuan yang tak bisa apa-apa. Meskipun sibuk dengan pekerjaan aku mampu mengantar anak-anakku menjadi anak-anak yang berprestasi di sekolah. 

“ Tapi masalahnya…..”
“ Apa ? ” tanyaku.
“ Kau tampak seperti seorang super woman di mata suamimu “.
“ Aku ? Super woman ? Hahaaa…..” aku tak mampu menyembunyikan rasa geliku. Aku sungguh-sungguh ingin tertawa lepas. “ Bukan, bukan. Aku hanya tak mau merepotkan saja, aku hanya ingin semuanya baik-baik saja, Fin “.

“ Kau mulai tak jujur “.
“ Kau mulai menuduhku “.
“ Kau ingin jadi pahlawan “.
“ Kau salah“.
“ Kau puas atas keperkasaanmu ”.
“Maksudmu ?”
“Kau begitu bangga setiap kali menyelesaikan masalah sementara  suamimu tak melakukan apa pun. Bahkan dia berada dalam posisi yang sangat lemah di hadapanmu . Dia begitu sering berada dalam posisi pengemis di matamu. Kau harus akui itu, karena memang seperti itulah yang adanya, meski kau tak menyadarinya. Kau hanya perlu menerima kenyataan bahwa kau memang memandang suamimu seperti itu. Terima saja. Semakin kau mengingkarinya, semakin kuat bayangann itu. Biarkan saja, itu tak menggangggu karena suamimu tak pernah tahu tentang ini.  Kau hanya perlu menata hatimu, sesekali aku tunjukkan sikap bahwa kau sangat membutuhkannya. Kau bergantung banyak hal padanya. Kau lupa, dia adalah  l a k i – l a k i “.

Hujan makin deras.  Dingin. Malam mengepungku, membawaku mengarahkan mobil menuju rumah bernomor 48. Rumahku. Sebelum kubunyikan klakson, seorang laki-laki tergopoh-gopoh berlari membukakan gerbang untukku. Kumatikan mesin. Aku menghambur keluar, menubruknya, memeluknya erat dan kubiarkan airmataku berbaur dengan air hujan. Dia suamiku. Belum berubah, masih seperti………..…….pengemis.

Cirebon April 2015
Pengirim :
ASIH DEWAYANTI, SE.M.Pd.I
Mengajar di SMA Negeri 1 Lemahabang
Jl. KH Wahid Hasyim No 70 Lemahabang
Sindanglaut – kab. Cirebon
(HP. 085 659 721 604)

Sabtu, 28 Maret 2015

6 Tahun Bersama Larasantang

Larasantang, nama komunitas seni di sekolahku, tepatnya ekskul kesenian. Aku baru bergabung di dalam komunitas itu di tehun ke dua. Ya, mestinya aku menyebutnya 5 tahun bersama Larasantang ya ?
Tapi gapapa,lah. Sekalian ngingetin bahwa usia ekskul seni itu 6 tahun.
Menjadi pembina seni didalamnya, cukup membahagiakan, menyenangkan. Tapi kadang aku juga merasa jenuh. Kepikiran juga sih untuk mengundurkan diri atau pindah membina ekskul yang lain. Tapi yang mana ya ? Ah, itu urusan kepsek yang menentukan. Sebagai anak buah nurut aja.

Enam tahun bersama Larsantang memberi banyak arti dalam hidupku. Aku yang banyak belajar dari aktivitas membina anak-anak di bidang seni. Bukan aku yang mengajari. Tapi akulah yang banyak belajar.
Memahami karakter anak-anak yang beraneka macam, begitu pulan dengan hasrat dan  keinginan mereka.
Apa pun itu , yang jelas ,bersamaLarasantang, aku harus banyak bersyukur, banyak berterima kasih, juga banyak meminta maaf atas segala kekurangan.

Mungkin di tahun ke 6 inilah aku harus move on. ada Bu Riska yang siap menjadi pengganti. Dia orang yang benar2 berbasic seni. Selamat bertugas, bu Riska.
Oya Selamat Ulang Tahun, Larasantang.
(Sorry, telat banget ya. kan 22 Januari, hehe)