Senin, 25 Februari 2013

A R I S



                      
Cerpen :    Asih Dewayanti

Sore di sebuah SMA. Di sini mendung begitu pekat. Hujan telah turun sejak sekian menit yang lalu. Tepatnya sebelum sirine tanda istirahat berbunyi.
 
Anak-anak berhamburan keluar. Ada yang langsung menunaikan shalat Ashar, ada pula yang ke kantin atau sekedar duduk-duduk di teras kelas. Aku duduk di sini, di warung makan, tempat yang sebelumnya sangat tidak biasa bagiku. Tapi dua-tiga bulan terakhir ini, aku akrab dengan tempat ini.
Seorang laki-laki tanggung dengan seragam putih abu-abunya duduk tepat di depanku. Matanya menerawang rintik hujan yang mulai turun.

          “ Jadi gimana, Ris ? ” aku membuka pembicaraan. Aris, begitu ia disapa, tak menjawab. Pandangannya masih belum beranjak dari rintik hujan di sana. Barangkali ia sedang menghitung-hitung, akan seberapa lama lagikah hujan turun kali ini. Kutunggu jawabannya, ia masih tak bereaksi. Hffh, rasanya aku sudah terlalu sabar untuk bersikap selambat ini.

          “ Ini tidak menyelesaikan masalah, ” kataku akhirnya. Ingin rasanya bangkit, berdiri meninggalkannya. Aku sudah tak lagi punya energi untuk marah. Biarlah rekanku yang lain saja yang menanganinya dengan tindakan yang lebih  tegas. 

          “ Mau ibu apa ? “ ia balik bertanya. Terasa sangat menantang di telingaku. Kucoba meredam debur amarah di dadaku. Padahal aku bisa saja  membentak , atau menyeretnya ke sebuah ruang khusus untuk menghentikan kebandelannya. Ya. Bandel, itu kata teman-temannya, juga menurut rekan-rekanku.

          “ Menurutmu, apa mau ibu ? “ kataku tak kalah sinis, tapi kutekan suaraku sehalus mungkin.  Tak ada gunanya buang-buang energi dengan marah. Aku tak bisa menyebutnya anak bandel atau sebutan lain yang kurang pantas. Nyaris tak kutemukan catatan tentang kenakalan atau perilaku yang dapat dikategorikan sebagai kenakalan atau kejahatan. Hanya satu yang kutahu : tukang bolos. Bukan...bukan. Bukan bolos. Tepatnya, ia jarang hadir di sekolah dengan alasan yang tak jelas. Kalau di sekolah, ia baik-baik saja. Cenderung pendiam, malah. Jadi, bagaimana aku bisa menyebutnya anak nakal ? Anak bandel ?
          Menjelang ulangan semester lalu, pihak sekolah menghadirkan orangtua Aris sebagai salah satu upaya sekolah dalam mendidik siswanya.  Informasi yang kuperoleh, Aris selalu tepat waktu baik berangkat maupun pulang sekolah. Tak ada yang aneh. Maka kulihat ada kekecewaan dan kegeraman di mata laki-laki kekar berkulit gelap itu. Ayah Aris. Ia tak menyangka, anaknya telah mempermainkannya. 

            Masih tak mau bicara ? ” tanyaku lagi. Dia menatapku tajam. Tak mampu aku membaca apa yang tersimpan dalam tatap matanya. Ia terlalu berani dengan tatapan seperti itu.

          “ Aris mau dikeluarkan dari sekolah ya ? “ ia menyelidik. Ah, aku tak bisa menakut-nakutinya dengan jawaban “ya”. Hanya desah nafas panjangku yang ada.  Kini ganti aku yang memandangi rintik hujan di luar sana. Terdengar sirine tanda pembelajaran dimulai kembali. Anak-anak kembali ke kelas masing-masing. Aris pun bangkit dari duduknya hendak beranjak.

          “ Di sini saja,” aku menahannya. Meraih lengannya. Aku yang berpindah duduk di sampingnya. Kuharap, ini kali terakhir aku bisa menyelesaikan masalahku yang satu ini. Aku mau tahu semuanya. Ya, semuanya tentang Aris. Aku wali kelasnya.

          Aku ingat, Aris hadir hanya tiga atau empat hari saja dalam sepekan di sekolah. Ditambah dengan kehadirannya pada saat ulangan umum. Jadi bagaimana mungkin aku bisa mengisi rapornya dengan angka-angka yang pantas ? Guru mata pelajaran yang lain pun jelas menilainya tak tuntas dalam pembelajaran. Tapi sungguh, aku tetap tak bisa marah. Ini saat-saat terakhir sekolahnya.  Nasihat dan peringatan dari orangtua dan guru lebih dari cukup. Ah, mestinya aku tak ambil pusing dengan hal ini. Ia toh sudah tahu resikonya nanti : tidak lulus. Aris bukanlah siapa-siapa bagiku.

Beberapa waktu lalu aku sempat bicara dengannya. Seperti biasa, berdua, di tempat ini juga. Disaksikan oleh banyak pasang mata juga. Sebenarnya sejak saat itu tumbuh harapan di hatiku : Aris akan berubah. Aris bukan anak bandel.  Aris akan menjadi lebih baik. Aku tak berharap lebih. Ia tak harus pintar, tak harus nomor satu

Sejak saat itu , aku punya semangat yang luar biasa setiap hendak menuju sekolah ini. Sebuah sekolah swasta dengan jam belajar siang. Tiba-tiba saja nama anak itu menjadi magnit yang amat kuat buatku. Sehari.........., dua hari................, seminggu............, dua minggu. Ke mana Aris ? Ah aku kecewa. Aku kecewa karena aku berharap. Home visit telah kulakukan. Kini giliran ibunya yang hanya bisa menyesali ulah anaknya. Aris tak muncul juga. Ada apa denganmu, nak ? (Hm, aku jadi teringat judul sebuah lagu pop).

Mungkin aku memang tak bisa bersikap adil. Buat Aris, aku bahkan mau repot-repot mengirimnya buku kumpulan soal-soal ujian melalui salah seorang temannya. Ini sungguh di luar kebiasaanku. Dari situ aku berharap lagi, Aris akan berubah.

“ Aris mau pergi, Bu ” suara anak muda itu mengejutkanku. Deg. Sesaat seperti berhenti jantungku. Kini aku yang menatapnya. Hanya tampak samping. Aku mencari kesungguhan dari kalimat yang baru saja terucap. Dia menatap lurus ke depan. Cuma rintik hujan yang ada. Kutemukan ada beban dari tarikan nafasnya yang berat. Kentara betul ia menahan sesuatu.

          “ Pergi ? “ tanyaku. 

Ia mengangguk. Tertunduk. Ada apa anak manis ? Bagiku kau tidaklah seperti yang mereka duga. Entah dari mana rumusnya itu.  Aku teramat yakin bahwa kau adalah anak yang baik. Kau, mungkin bahkan sangat penurut.  Kau juga bukan anak yang suka menyakiti hati orangtua, guru, atau temanmu. Bukan. Hatiku berbisik.

          Aris adalah sulung dari empat bersaudara dengan tiga adik perempuan. Semua sangat sayang dan bangga padanya. Menyenangkan sekali  tentunya Ayahnya seorang juragan nelayan yang beringsut bangkrut karena kalah dalam persaingan usaha. Belum lagi sempat tertipu oleh orang yang mengaku hendak memberikan tambahan modal yang menggiurkan untuk kelangsungan usahanya. Dan, Aris adalah anak lelak satu-satunya yang menjadi tumpuan harapan !

          “ Terlalu berat buat saya, “ katanya suatu ketika. 

Hingga sampailah pada titik dimana ayahnya merasa dikhianati. Dipermainkan. Ya, saat sekolah mengirimkan surat panggilan untuk orangtua Aris. Maka, hal yang tak pernah diduga harus ia terima : pukulan keras dan telak di wajahnya. Belum pernah ia melihat ayahnya sedemikian murka. Tak ada tempat berlindung. Ketiga adik perempuannya hanya menangis melihat jagoannya disakiti secara fisik dan mental di depan mata. Anak muda itu tak punya kekuatan apa pun di rumah itu. Belum lagi di sekolah, ia seperti selalu sendiri dalam keramaian.

          “ Hanya Ibu yang membuat saya merasa punya arti. Hanya Ibu  yang berulang-ulang meyakinkan bahwa Aris anak baik. Aris bagai di awang-awang. Aris senang Ibu bilang begitu. Tidak seperti guru-guru yang lain. Tapi mereka benar,Bu. Aris bukanlah anak baik seperti yang Ibu katakan. Mereka tidak salah. Tapi Aris harus buktikan bahwa....”
          “ Bahwa yang Ibu katakan adalah benar ?”
          “ Ya. “ jawabnya mantap.

          Lalu ia mulai bercerita tentang perkenalannya dengan seorang gadis dalam sebuah perjalanan. Gadis yang baik dan lembut hati. Lelaki tanggung ini seakan menemukan pelabuhan tempat hatinya berlabuh. Lalu tanpa disadarinya ia terseret jauh ke dunia coba-coba. Dunia yang dikenalnya melalui gadis pujaannya. Bersama teman-teman sang gadis ia mulai belajar bolos, main PS, merokok dan nonton film yang tak layak tonton. Namun demikian, Aris tak mau kehilangan kebanggaan keluarganya. Ia harus tetap menjaga citranya sebagai anak kesayangan.  Berdusta, itu jalan yang ditempuhnya.

          Hari-hari pun berlalu hingga ia tak mampu sadari di sisi mana sebenarnya dirinya kini berpijak. Ia tak mau kehilangan “teman-teman baiknya”, juga tak ingin terlempar dari harmoni keluarganya. Kini, Aris harus memilih.

          “ Ibu, Aris terlibat. Aris takut, ......Aris,...Aris harus pergi, Bu...”

          “ Terlibat ? Terlibat apa?...M....maksudmu? “ tanyaku terbata-bata. Nyaris berteriak.  Kini aku yang ketakutan.  Please.....please...Jangan. ku tak berani membayangkan, bahwa berita yang sering kulihat di media massa itu ada di depan hidungku. Menyebut nama “narkoba” di depannya pun, aku tak punya nyali. Aku mohon, jangan ya Allah.....

          “ Aris terlibat, Ibu. Terlibat. Ibu mengerti, kan maksudnya? Narkoba, Bu “
DAR !!!! DAR !! Tepat, bersamaan dengan gelegar petir. Astaghfirullah, serasa copot jantungku. Tenggorokanku tercekat sesaat. Nyaris tak mampu bernafas. Hujan semakin deras. Langit semakin pekat. Sekian detik, aku tak tahu harus bagaimana. Pemuda jangkung berhidung mancung itu tertunduk dalam. Ada danau bening yang disembunyikan di sudut matanya. Basah......seperti cipratan air hujan di jendela kantin ini.
          Aku sungguh-sungguh tak tahu harus bagaimana. Harus berkata apa. Kuraih sebelah tangannya. Kugenggam erat. Erat sekali.  Ada dua guncangan hebat beradu. Tes. Pertahanannya jebol juga. Punggung tanganku basah oleh air matanya. Ingin aku menenangkannya, tapi justru akulah yang takut luar biasa.
          “ Apa yang bisa ibu lakukan untukmu, Nak ?” bergetar suaraku, mencoba untuk tegar. Ya Tuhanku, aku masih amat yakin, sesungguhnya Aris anak yang lembut hati.  Ya Allah, tiba-tiba saja aku merasa sangat takut kehilangan.  Ia jadi begitu berharga bagiku. Ia tak punya siapa-siapa di sini. Ia hanya percaya aku.
          “ Aris harus pergi, Bu “.
          “ Bulan depan ujian akhir”.
          “ Aris tidak akan lulus “.
“ Kau Belum mencoba “.
“ Tidak perlu “.
“ Perlu. Dan harus “.
 Ia tetap menggeleng.
“ Please..... Jangan kecewakan ibu. Juga yang lain “.

Ia diam. Dilepaskannya tangannya dari genggamanku. Ia menyeka matanya yang basah dengan ujung jarinya. Sekarang aku yang tak mampu mempertahankan kekukuhan yang kujaga sedari tadi. Butiran bening, mengalir juga di pipiku. Ada tanya dan tanya bermunculan di benakku. Sejauh mana Aris terlibat ? Apa yang harus kulakukan ? Melapor ? Menasihati ? Memarahi ? Oh, my God .... Sunguh-sungguhkah ia akan pergi ? Ke mana peginya ? Lalu bagaimana...bagaimana dengan.....ah !

          “ Aris ke kelas dulu ya Bu? Aris ketinggalan ulangan , ” ia bangkit. Hujan masih deras. Makin dingin. Aku berharap langit tak selamanya seperti ini. Suram. Aku mau dan aku yakin esok mentari kan bersinar cerah. Kuharap.......aku masih boleh berharap.

          “ Terima kasih. Ibu terlalu baik buat Aris. Aris sayang sama Ibu.” Ia tersenyum tipis. Ia tunduk ta’dzim dan mencium punggung tanganku. Kuiiringi langkahnya dan kupandangi punggungnya yang basah di tengah guyuran hujan. Ada yang hilang di sudut hatiku, sebelum ia benar-benar pergi.............*

Inspirated from
the real story of Hari