Cerpen : Asih Dewayanti
Bukan…., pasti bukan ! Aku mencoba menepis bayangan yang begitu
jelas tergambar di benakku. Sekali lagi kuusap-usap mata ini dengan ujung
jariku…. Ah, dia lagi. Aku melihat dengan jelas bahwa lelaki compang-camping
itu seperti…….. suamiku !
Ciiiiiiiii……tttt ‼
Ya Tuhan, nyaris saja, andai aku tak segera menginjak rem
mobilku. Hujan lebat malam itu begitu kuat menyeretku masuk ke dalam lamunanku.
Dan….laki-laki itu ‼ Orang yang baru saja melintas di hadapanku, menyeberang
jalan, di tengah guyuran hujan. Pengemis ! Ya. Pengemis itu !
Laki-laki
itu menghilang di kegelapan malam. Ya Tuhan, ampuni aku. Aku tak pernah
bermaksud menganggap suamiku adalah seorang pengemis. Sama sekali tidak.
Berulang-ulang mulutku mengucap istighfar. Suamiku adalah lelaki terbaik
untukku. Dia bapak dari anak-anakku. Bersama-sama kami menjalani kehidupan
rumah tangga ini, dalam suka maupun duka. Tidak mungkin aku melihatnya, atau
menganggapnya sebagai seorang pengemis.
"Tak baik menutupi perasaan yang sebenarnya, Arni ,” ucap Fina. Dia sahabatku
semasa SMA yang kini menjadi seorang psikolog.
Dua bulan terakhir ini aku memang
sedang dalam masa terapi. Aku merasa ada yang tak beres dengan diriku. Entah
apa itu. Setiap kali aku melihat, bicara, menyebut nama atau bahkan sekedar
mengingat suamiku, selalu saja aku melihatnya seperi, maaf, seorang pengemis
dengan pakaian kumal yang menengadahkan tangannya meminta belas kasihan padaku.
Jauh dari keadaan yang sebenarnya. Lelaki gagah yang penuh wibawa dan banyak
teman.
“Kau hanya iba padanya. Sekedar kasihan. Kau
juga mengasihani diri sendiri. Kau tak ingin dianggap sebagai orang yang tak
pandai berterima kasih. Kau juga tak mau disebut perempuan yang tak bahagia “.
“ Sok tahu, ” bantahku. Fina hanya
tersenyum. “ Aku sangat bahagia “, imbuhku.
“ Bukan sok tahu, Arni. Kau sendiri
yang mengatakan itu. Kau tidak bahagia “.
“ O, ya ?” tanyaku , menyelidik.
Mencoba mengingat-ingat apa yang kuucapkan selama menjalani terapi. Ah, aku tak
pernah katakan bahwa aku tidak bahagia.
“ Aku tidak pernah membuat klienku
kehilangan kesadaran. Mereka tetap sadar. Dan kau ? Kau justru berada dalam
kondisi yang sangat sadar, sesadar-sadarnya. Kau katakan semua yang kaurasa
dengan jujur. Apa adanya. Kau masih ingat semuanya, bukan ? “ perempuan itu
seperti menelanjangiku. Aku hanya mengangkat kedua bahuku, seperti tak ingin
dia tahu yang sebenarnya.
“ Kapan kau mulai melihatnya seperti itu ?”
“ Entahlah. Sudah lama, makin hari
makin parah ”.
Bayangan itu semakin tampak nyata
saat Fina memintaku untuk memejamkan mata dan menghirup nafas dalam-dalam.
Berulang-ulang itu kulakukan hingga aku merasakan rongga dadaku telah berganti
dengan oksigen segar. Aku merasakan udara yang demikian sejuk sehingga aku bisa
begitu leluasa berbicara. Lalu aku menceritakan tentang kebiasaan suamiku minta
bantuan uang padaku untuk tambahan modal usahanya. Usaha ini, usaha itu.
Beberapa kali aku dimintanya untuk meminjam dana ke bank dengan menjaminkan SK
kepegawaianku. Tak hanya itu, dia juga memintaku menjaminkan apa saja yang kumiliki
untuk mendapatkan sejumlah dana. Aku terima, aku tak apa-apa. Aku percaya,
bantuanku untuk orang yang paling aku cintai tak akan pernah sia-sia. Usahanya
toh untuk keperluan keluarga juga.
“ Usahanya
berjalan lancar ? Ada hasilnya ? ” tanya Fina.
“ Pernah “,
jawabku.
“ Pernah ? ”
“ Ya, pernah “.
“ Lalu ? ”
“ Belum
lagi. Tapi tak apa. Gaji dan tunjanganku masih cukup “.
“ Kau
sungguh-sungguh dengan ucapanmu, Arni ? Kau tak pernah tuntut apa pun dari
suamimu ? “
“ Aku merasa lebih dari cukup. Aku
sudah atur keuanganku sebaik mungkin. Asuransi kesehatan dan pendidikan juga
sudah kupersiapkan matang-matang. Usaha propertiku juga lancar. Tak apa, tak
ada ada masalah “, jawabku.
“ Hmmm ? ” perempuan itu
manggut-manggut. Lalu membuka lembar-lembar catatan, mungkin mengulik kembali
pengakuan-pengakuanku pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Aaaah…percuma. Ini
tak akan meperbaiki keadaan. Sepertinya aku justru membuka-buka begian hidupku
yang semestinya tak perlu orang lain tahu.
“ Adakah yang salah ? Satu hal yang
patut kau tahu, suamiku sungguh-sungguh bukan pengemis ! B u k a n pengemis !”
aku nyaris berteriak. Aku tak terima dengan sebutan tidak bahagia jika ukuran kebahagiaan adalah ketercukupan ekonomi.
Aku bisa bisa punya rumah dan mobil sendiri meski bukan barang mewah. Aku tak
pernah terlilit banyak hutang.
Aaaaah…………., aku ingin jujur saja
Tuhan. Jujur padaMu. Aku tak mau tenggelam dalam status-status palsu seperti
pandai bersyukur atau istri yang sholihah ! Aku bukan itu! Bukan perempuan
gagah yang tak butuh laki-laki ! Bukan semuanya! Aku tetaplah perempuan yang
ingin dinafkahi, dilindungi, dimanja, dan aku ingin merasakan bergantung pada laki-laki. Selama ini aku merasa mampu bahkan
sangat mampu memenuhi segala kebutuhan keluargaku, membantu saudara-saudaraku,
termasuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan usaha suamiku. Aku sanggup. Aku selalu
ingin tampak perkasa di mata suamiku.
Aku bukan perempuan cengeng, bukan perempuan yang tak bisa apa-apa. Meskipun
sibuk dengan pekerjaan aku mampu mengantar anak-anakku menjadi anak-anak yang
berprestasi di sekolah.
“ Tapi masalahnya…..”
“ Apa ? ” tanyaku.
“ Kau tampak seperti seorang super woman di mata suamimu “.
“ Aku ? Super woman ? Hahaaa…..” aku
tak mampu menyembunyikan rasa geliku. Aku sungguh-sungguh ingin tertawa lepas.
“ Bukan, bukan. Aku hanya tak mau merepotkan saja, aku hanya ingin semuanya
baik-baik saja, Fin “.
“ Kau mulai tak jujur “.
“ Kau mulai menuduhku “.
“ Kau ingin jadi pahlawan “.
“ Kau salah“.
“ Kau puas atas keperkasaanmu ”.
“Maksudmu ?”
“Kau begitu bangga setiap kali
menyelesaikan masalah sementara suamimu
tak melakukan apa pun. Bahkan dia berada dalam posisi yang sangat lemah di
hadapanmu . Dia begitu sering berada dalam posisi pengemis di matamu. Kau harus akui itu, karena memang seperti
itulah yang adanya, meski kau tak menyadarinya. Kau hanya perlu menerima
kenyataan bahwa kau memang memandang suamimu seperti itu. Terima saja. Semakin
kau mengingkarinya, semakin kuat bayangann itu. Biarkan saja, itu tak
menggangggu karena suamimu tak pernah tahu tentang ini. Kau hanya perlu menata hatimu, sesekali aku
tunjukkan sikap bahwa kau sangat membutuhkannya. Kau bergantung banyak hal
padanya. Kau lupa, dia adalah l a k i –
l a k i “.
Hujan makin deras. Dingin. Malam mengepungku, membawaku
mengarahkan mobil menuju rumah bernomor 48. Rumahku. Sebelum kubunyikan
klakson, seorang laki-laki tergopoh-gopoh berlari membukakan gerbang untukku. Kumatikan
mesin. Aku menghambur keluar, menubruknya, memeluknya erat dan kubiarkan
airmataku berbaur dengan air hujan. Dia suamiku. Belum berubah, masih
seperti………..…….pengemis.
Cirebon April 2015
Pengirim :
ASIH
DEWAYANTI, SE.M.Pd.I
Mengajar
di SMA Negeri 1 Lemahabang
Jl.
KH Wahid Hasyim No 70 Lemahabang
Sindanglaut
– kab. Cirebon
(HP.
085 659 721 604)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan ini adalah refleksi harianku, segala komentar....please-please aja.