Bertemu lagi dengan peringatan hari guru di sekolah tempatku mengajar, SMA Negeri 1 Lemahabang. Aku tahu tentang ini pertama kalinya tahun 2008, saat pertama aku ditempatkan. Waktu itu aku jadi juri lomba baca puisi atau karya cipta lagu. Lupa. Sejak saat itu aku interest dengan event ini. Aku suka geregetan dan tak sabar saja melihat anak-anak yg kurang gesit menangani acara. Maka, biasanya aku langsung ikut2an sibuk di belakang panggun, kadang malah ngurusi mikrofon atau alat musik yg gak beres di atas panggung
Masih seperti tahun2 lalu, ada lomba puisi, padus, KCL, tumpeng, tart dan puding. Hanya saja belakangan ini beberapa lomba hilang tapi muncul lomba-lomba yang lain. Yg aku rindukan hanya satu : lomba dtama komedi. Acara yg satu ini pasti bikin seru, rame. Sayang ga ada lagi. Kapa ya ada lagi....
Harapanku semoga acara Hari Guru tahun 2013 ini berjalan lancar, sukses dan mengesankan.
Sebuah refleksi harian. Berkisah seputar lingkungan kerja dan kehidupan sehari-hari. Seputar perasaan kasih sayang antara seorang ibu terhadap semua anak-anaknya. Seputar harapan , impian, cita-cita, bahkan kerap berupa obsesi.................
Kamis, 28 November 2013
Sabtu, 02 November 2013
T O P E N G
27 Mei 2012 pukul 6:02
T O P E N G
(puisiku untuk Gayatri Putri Pangestu)
Gendang tak lagi rampak menghentak
Denting gamelan tak lagi getarkan dedaunan
untuk bergoyang
iringi senandung kidung pujaan
.....
(ngawih..........)
.....
Sayup
Menjauh
Seperti sampurku yang hilang
satu demi satu
Duhai penguasa marcapada
Ke mana perginya derap tegap langkah kakiku ?
Ke mana pudarnya bara murka Kelana dalam merah topengku ?
Tak kudengar gemuruh ambisi dari merah nadiku
Busung dadaku tak lagi mampu tegakkan ujung daguku
Lemparan sampurku tak juga hempaskan laku licik kaum pecundang
Ambruk !
Remuk !
Tanpa jiwa
dalam gempuran gempita budaya bertopengkan kemajuan jaman
Topeng-topeng teknologi
Topeng-topeng ekonomi
Topeng-topeng demokkrasi
dan topeng-topeng yang membungkam hati nurani
Topeng-topeng menyerbu atas nama kekinian
Merasuk jauh ke dalam tulang belulang
Mengalir sepanjang aliran darah
di bumi Cirebonku
Topengku tak lagi berarwah kelana
Teronggok penuh debu ditingkap topeng-topeng Indie, K-pop dan Hip-hop
Topengku tak boleh mati !
karena masih kurasakan hangat semangat meski terasa lambat
karena aku masih melihat
senyum di bibirku masih cantik memikat
saat pecahan kaca riasku, kuangkat
Masih ada matahari esok pagi
Yang akan bangunkan topeng-topengku dari berjuta mimpi
Masih ada nafas cinta penerus generasi
yang akan wujudkan berjuta-juta mimpi
**
Cirebon Mei 2012
(puisiku untuk Gayatri Putri Pangestu)
Gendang tak lagi rampak menghentak
Denting gamelan tak lagi getarkan dedaunan
untuk bergoyang
iringi senandung kidung pujaan
.....
(ngawih..........)
.....
Sayup
Menjauh
Seperti sampurku yang hilang
satu demi satu
Duhai penguasa marcapada
Ke mana perginya derap tegap langkah kakiku ?
Ke mana pudarnya bara murka Kelana dalam merah topengku ?
Tak kudengar gemuruh ambisi dari merah nadiku
Busung dadaku tak lagi mampu tegakkan ujung daguku
Lemparan sampurku tak juga hempaskan laku licik kaum pecundang
Ambruk !
Remuk !
Tanpa jiwa
dalam gempuran gempita budaya bertopengkan kemajuan jaman
Topeng-topeng teknologi
Topeng-topeng ekonomi
Topeng-topeng demokkrasi
dan topeng-topeng yang membungkam hati nurani
Topeng-topeng menyerbu atas nama kekinian
Merasuk jauh ke dalam tulang belulang
Mengalir sepanjang aliran darah
di bumi Cirebonku
Topengku tak lagi berarwah kelana
Teronggok penuh debu ditingkap topeng-topeng Indie, K-pop dan Hip-hop
Topengku tak boleh mati !
karena masih kurasakan hangat semangat meski terasa lambat
karena aku masih melihat
senyum di bibirku masih cantik memikat
saat pecahan kaca riasku, kuangkat
Masih ada matahari esok pagi
Yang akan bangunkan topeng-topengku dari berjuta mimpi
Masih ada nafas cinta penerus generasi
yang akan wujudkan berjuta-juta mimpi
**
Cirebon Mei 2012
Rabu, 30 Oktober 2013
Suruh Dia ke Sini, Ngelamar Kamu !
Cerpen : Asih Dewayanti
Duh, aku ga nyangka bakal kaya begini. Ibu dan bapakku
kompak banget marahin aku. Apa salahnya sih jika aku punya rahasia? Punya
privacy? Aku sungguh pengen punya kamar sendiri. Di situ aku bisa lakuin apa
saja yang aku suka. Tidur dengan gaya semauku, baca-baca cerita, corat-coret
gambar, atau sms-an dan telpon-telponan sepuasnya.
Sumpah, aku pengen banget kaya teman-temanku, terutama teman
satu geng-ku. Rasanya mereka punya kebabasan yang jauh lebih banyak dari aku.
Aku belum pernah mendengar mereka mengeluh telah ditegur atau dimarahi ibunya
jika pulang maen kesorean. Juga belum pernah ada yang mengeluh karena hp-nya
disimpan paksa oleh orangtuanya. Bahkan aku asik-asik saja main game on-line di
kamar temanku seharian.
Tapi coba apa yang terjadi denganku ? Huuuh,
sebel....sebel....sebellllllll. Super sebelnya. Semuanya diatur, semuanya
terasa salah di mata orangtuaku.
Semua ini pastilah gara-gara aku ga pinter menyimpen
rahasiaku sendiri. Selama ini ibuku cuma selalu dan selalu mengingatkan agar
aku tidak tidur terlalu malam. Aku cuma mengiyakan, padahal aku sering sms-an
sampai ketiduran dalam kamar (yang ku-klaim sebagai kamarku sendiri). Pagi itu
aku susah sekali bangun meski pintu kamar sudah digedor-gedor oleh kedua
orangtuaku. Mereka membangunkan aku untuk sholat Subuh. Dengan sangat malas aku
ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu dan sholat Subuh. Hampir setiap pagi
ibuku ngomel-ngomel seperti ini gara-gara aku susah bangun pagi.
Nah, usai sholat maghrib, aku dengan kakak perempuanku
dipanggil dan diajak bicara. Tepatnya diminta untuk mendengarkan ibuku bicara.
Tidak ada teriakan atau marah-marah. Tidak ada. Ibuku bicaranya pelan, lambat,
tenang, meski aku merasakan ada emosi amarah yang sungguh tertahan.
" Jika ada lelaki, siapa pun itu, lalu bilang sayang
atau cinta pada kalian, jangan percaya. Apalagi sambil memuji kalian ini
cantik, pintar, manis, membuat rindu, sekedar lewat sms di hape kalian. Sekali
lagi dan untuk ke sekian kalinya : jangan pernah percaya. Tapi jika kalian tak
percaya kata-kata ibu ini tidak apa-apa. Percayalah saja pada laki-laki yang
membuat hati kalian berbunga-bunga. Tak apa. Hanya saja ibu minta pada kalian,
agar kalian sampaikan pada laki-laki itu untuk menghadap ibu dan ayah kalian
ini . Segera ".
" Menghadap ? Untuk apa ?" tanyaku. Berjuta tanya
menari-nari di benakku.
" Sekalian dengan keluarga besarnya".
" Keluarganya ? Kenapa?"
" Ya. Sekalian suruh bawa mahar untuk melamar kalian.
Ibu dan ayah akan nikahkan kalian ".
" HAHHHH ? Nikah ?"
" Ya. Tidak aneh, bukan ?"
" Kan kami masih sekolah ? Kok disuruh nikah ? Nanti
gimana dong sekolahnya ? Nafkahnya ? Trus punya anak, gitu ? Kita kan masih
kecil ?Belum lulus ? Belum kerja ?"
" Ya, benar. Benar itu. Kalian pintar walau kalian
sadar kalian masih kecil...."
Aku menungggu perubahan reaksi di wajah ibuku. Terus
menungu..... Tak ada. Tetap. Ibu hanya menatap wajah kami berdua dalam-dalam.
Aku tak berani melawan tatapannya. Ini pasti gara-gara sms-sms ku semalam
yang tak kuhapus. Ya, aku memang sedang asyik-asyiknya berdekat-dekat
dengan seorang kakak kelas di sekolahku. Dia cowo tampan pujaan cewek-cewek di
sekolah, dia menanggapi sinyal "asmaraku" meski cuma lewat sms.
Padahal aku tahu betul dia adalah pacar sahabatku sendiri. Aku cuma iseng. Cuma
main-main.
" Jangan pernah main-main dengan api. kalian bisa
terbakar", cess......rasanya ibu bisa membaca pikiranku. Punya ilmu dari
mana dia. Aku kerap tak mampu bersembunyi dari pengawasannya. Beberapa kali aku
berdusta, selalu katahuan, setidaknya curiga.
" Mulai hari ini, tak ada hp aktif setelah jam 9 malam.
Tak perlu ibu merampaskan bukan ? Atau , jika kalian merasa ini masih juga
tidak adil, kalian boleh pilih yang ini : Suruh lelaki itu ke sini melamar kamu
!"
" Tapi kan ?........."
" Cukup jelas, kan ? Pikirkan baik-baik, lalu ambil
keputusan besok pagi. Ibu mau mau istirahat dulu...". Lalu ibu beranjak
dan duduk di dekat ayah yang sedari tadi hanya menjadi pendengar sambil
menganggguk-angguk....
....ooooh, kali ini, ibu memang
tidak main-main….
Cirebon,
Oktober 2013
Senin, 25 Februari 2013
A R I S
Cerpen : Asih
Dewayanti
Sore
di sebuah SMA. Di sini mendung begitu pekat. Hujan telah turun sejak sekian
menit yang lalu. Tepatnya sebelum sirine tanda istirahat berbunyi.
Anak-anak berhamburan keluar. Ada yang
langsung menunaikan shalat Ashar, ada pula yang ke kantin atau sekedar
duduk-duduk di teras kelas. Aku duduk di sini, di warung makan, tempat yang
sebelumnya sangat tidak biasa bagiku. Tapi dua-tiga bulan terakhir ini, aku
akrab dengan tempat ini.
Seorang laki-laki tanggung dengan seragam
putih abu-abunya duduk tepat di depanku. Matanya menerawang rintik hujan yang
mulai turun.
“ Jadi
gimana, Ris ? ” aku membuka pembicaraan. Aris, begitu ia disapa, tak menjawab.
Pandangannya masih belum beranjak dari rintik hujan di sana. Barangkali ia
sedang menghitung-hitung, akan seberapa lama lagikah hujan turun kali ini.
Kutunggu jawabannya, ia masih tak bereaksi. Hffh, rasanya aku sudah terlalu
sabar untuk bersikap selambat ini.
“
Ini tidak menyelesaikan masalah, ” kataku akhirnya. Ingin rasanya bangkit,
berdiri meninggalkannya. Aku sudah tak lagi punya energi untuk marah. Biarlah
rekanku yang lain saja yang menanganinya dengan tindakan yang lebih tegas.
“ Mau ibu
apa ? “ ia balik bertanya. Terasa sangat menantang di telingaku. Kucoba meredam
debur amarah di dadaku. Padahal aku bisa saja
membentak , atau menyeretnya ke sebuah ruang khusus untuk menghentikan
kebandelannya. Ya. Bandel, itu kata teman-temannya, juga menurut rekan-rekanku.
“
Menurutmu, apa mau ibu ? “ kataku tak kalah sinis, tapi kutekan suaraku sehalus
mungkin. Tak ada gunanya buang-buang
energi dengan marah. Aku tak bisa menyebutnya anak bandel atau sebutan lain
yang kurang pantas. Nyaris tak kutemukan catatan tentang kenakalan atau
perilaku yang dapat dikategorikan sebagai kenakalan atau kejahatan. Hanya satu
yang kutahu : tukang bolos. Bukan...bukan. Bukan bolos. Tepatnya, ia jarang
hadir di sekolah dengan alasan yang tak jelas. Kalau di sekolah, ia baik-baik
saja. Cenderung pendiam, malah. Jadi, bagaimana aku bisa menyebutnya anak nakal
? Anak bandel ?
Menjelang
ulangan semester lalu, pihak sekolah menghadirkan orangtua Aris sebagai salah
satu upaya sekolah dalam mendidik siswanya.
Informasi yang kuperoleh, Aris selalu tepat waktu baik berangkat maupun pulang
sekolah. Tak ada yang aneh. Maka kulihat ada kekecewaan dan kegeraman di mata
laki-laki kekar berkulit gelap itu. Ayah Aris. Ia tak menyangka, anaknya telah
mempermainkannya.
“ Masih tak mau bicara ? ” tanyaku lagi. Dia
menatapku tajam. Tak mampu aku membaca apa yang tersimpan dalam tatap matanya.
Ia terlalu berani dengan tatapan seperti itu.
“ Aris mau
dikeluarkan dari sekolah ya ? “ ia menyelidik. Ah, aku tak bisa
menakut-nakutinya dengan jawaban “ya”. Hanya desah nafas panjangku yang
ada. Kini ganti aku yang memandangi
rintik hujan di luar sana. Terdengar sirine tanda pembelajaran dimulai kembali.
Anak-anak kembali ke kelas masing-masing. Aris pun bangkit dari duduknya hendak
beranjak.
“ Di sini
saja,” aku menahannya. Meraih lengannya. Aku yang berpindah duduk di
sampingnya. Kuharap, ini kali terakhir aku bisa menyelesaikan masalahku yang
satu ini. Aku mau tahu semuanya. Ya, semuanya tentang Aris. Aku wali kelasnya.
Aku ingat,
Aris hadir hanya tiga atau empat hari saja dalam sepekan di sekolah. Ditambah
dengan kehadirannya pada saat ulangan umum. Jadi bagaimana mungkin aku bisa
mengisi rapornya dengan angka-angka yang pantas ? Guru mata pelajaran yang lain
pun jelas menilainya tak tuntas dalam pembelajaran. Tapi sungguh, aku tetap tak
bisa marah. Ini saat-saat terakhir sekolahnya.
Nasihat dan peringatan dari orangtua dan guru lebih dari cukup. Ah,
mestinya aku tak ambil pusing dengan hal ini. Ia toh sudah tahu resikonya nanti
: tidak lulus. Aris bukanlah siapa-siapa bagiku.
Beberapa waktu lalu aku sempat bicara
dengannya. Seperti biasa, berdua, di tempat ini juga. Disaksikan oleh banyak
pasang mata juga. Sebenarnya sejak saat itu tumbuh harapan di hatiku : Aris
akan berubah. Aris bukan anak bandel.
Aris akan menjadi lebih baik. Aku tak berharap lebih. Ia tak harus
pintar, tak harus nomor satu
Sejak saat itu , aku punya semangat yang
luar biasa setiap hendak menuju sekolah ini. Sebuah sekolah swasta dengan jam
belajar siang. Tiba-tiba saja nama anak itu menjadi magnit yang amat kuat
buatku. Sehari.........., dua hari................, seminggu............, dua
minggu. Ke mana Aris ? Ah aku kecewa. Aku kecewa karena aku berharap. Home
visit telah kulakukan. Kini giliran ibunya yang hanya bisa menyesali ulah
anaknya. Aris tak muncul juga. Ada apa denganmu, nak ? (Hm, aku jadi teringat
judul sebuah lagu pop).
Mungkin aku memang tak bisa bersikap
adil. Buat Aris, aku bahkan mau repot-repot mengirimnya buku kumpulan soal-soal
ujian melalui salah seorang temannya. Ini sungguh di luar kebiasaanku. Dari
situ aku berharap lagi, Aris akan berubah.
“ Aris mau pergi, Bu ” suara anak muda
itu mengejutkanku. Deg. Sesaat seperti berhenti jantungku. Kini aku yang
menatapnya. Hanya tampak samping. Aku mencari kesungguhan dari kalimat yang
baru saja terucap. Dia menatap lurus ke depan. Cuma rintik hujan yang ada. Kutemukan
ada beban dari tarikan nafasnya yang berat. Kentara betul ia menahan sesuatu.
“ Pergi ?
“ tanyaku.
Ia mengangguk. Tertunduk. Ada apa anak
manis ? Bagiku kau tidaklah seperti yang mereka duga. Entah dari mana rumusnya
itu. Aku teramat yakin bahwa kau adalah
anak yang baik. Kau, mungkin bahkan sangat penurut. Kau juga bukan anak yang suka menyakiti hati
orangtua, guru, atau temanmu. Bukan. Hatiku berbisik.
Aris
adalah sulung dari empat bersaudara dengan tiga adik perempuan. Semua sangat
sayang dan bangga padanya. Menyenangkan sekali
tentunya Ayahnya seorang juragan nelayan yang beringsut bangkrut karena
kalah dalam persaingan usaha. Belum lagi sempat tertipu oleh orang yang mengaku
hendak memberikan tambahan modal yang menggiurkan untuk kelangsungan usahanya.
Dan, Aris adalah anak lelak satu-satunya yang menjadi tumpuan harapan !
“ Terlalu
berat buat saya, “ katanya suatu ketika.
Hingga sampailah pada titik dimana ayahnya
merasa dikhianati. Dipermainkan. Ya, saat sekolah mengirimkan surat panggilan
untuk orangtua Aris. Maka, hal yang tak pernah diduga harus ia terima : pukulan
keras dan telak di wajahnya. Belum pernah ia melihat ayahnya sedemikian murka.
Tak ada tempat berlindung. Ketiga adik perempuannya hanya menangis melihat
jagoannya disakiti secara fisik dan mental di depan mata. Anak muda itu tak
punya kekuatan apa pun di rumah itu. Belum lagi di sekolah, ia seperti selalu
sendiri dalam keramaian.
“
Hanya Ibu yang membuat saya merasa punya arti. Hanya Ibu yang berulang-ulang meyakinkan bahwa Aris
anak baik. Aris bagai di awang-awang. Aris senang Ibu bilang begitu. Tidak
seperti guru-guru yang lain. Tapi mereka benar,Bu. Aris bukanlah anak baik
seperti yang Ibu katakan. Mereka tidak salah. Tapi Aris harus buktikan
bahwa....”
“ Bahwa
yang Ibu katakan adalah benar ?”
“ Ya. “
jawabnya mantap.
Lalu ia
mulai bercerita tentang perkenalannya dengan seorang gadis dalam sebuah
perjalanan. Gadis yang baik dan lembut hati. Lelaki tanggung ini seakan
menemukan pelabuhan tempat hatinya berlabuh. Lalu tanpa disadarinya ia terseret
jauh ke dunia coba-coba. Dunia yang dikenalnya melalui gadis pujaannya. Bersama
teman-teman sang gadis ia mulai belajar bolos, main PS, merokok dan nonton film
yang tak layak tonton. Namun demikian, Aris tak mau kehilangan kebanggaan
keluarganya. Ia harus tetap menjaga citranya sebagai anak kesayangan. Berdusta, itu jalan yang ditempuhnya.
Hari-hari
pun berlalu hingga ia tak mampu sadari di sisi mana sebenarnya dirinya kini berpijak.
Ia tak mau kehilangan “teman-teman baiknya”, juga tak ingin terlempar dari
harmoni keluarganya. Kini, Aris harus memilih.
“ Ibu,
Aris terlibat. Aris takut, ......Aris,...Aris harus pergi, Bu...”
“ Terlibat
? Terlibat apa?...M....maksudmu? “ tanyaku terbata-bata. Nyaris berteriak. Kini aku yang ketakutan. Please.....please...Jangan. ku tak berani
membayangkan, bahwa berita yang sering kulihat di media massa itu ada di depan
hidungku. Menyebut nama “narkoba” di depannya pun, aku tak punya nyali. Aku
mohon, jangan ya Allah.....
“ Aris
terlibat, Ibu. Terlibat. Ibu mengerti, kan maksudnya? Narkoba, Bu “
DAR !!!! DAR !! Tepat, bersamaan dengan
gelegar petir. Astaghfirullah, serasa copot jantungku. Tenggorokanku tercekat sesaat.
Nyaris tak mampu bernafas. Hujan semakin deras. Langit semakin pekat. Sekian
detik, aku tak tahu harus bagaimana. Pemuda jangkung berhidung mancung itu
tertunduk dalam. Ada danau bening yang disembunyikan di sudut matanya.
Basah......seperti cipratan air hujan di jendela kantin ini.
Aku
sungguh-sungguh tak tahu harus bagaimana. Harus berkata apa. Kuraih sebelah
tangannya. Kugenggam erat. Erat sekali.
Ada dua guncangan hebat beradu. Tes. Pertahanannya jebol juga. Punggung
tanganku basah oleh air matanya. Ingin aku menenangkannya, tapi justru akulah
yang takut luar biasa.
“ Apa yang
bisa ibu lakukan untukmu, Nak ?” bergetar suaraku, mencoba untuk tegar. Ya
Tuhanku, aku masih amat yakin, sesungguhnya Aris anak yang lembut hati. Ya Allah, tiba-tiba saja aku merasa sangat
takut kehilangan. Ia jadi begitu
berharga bagiku. Ia tak punya siapa-siapa di sini. Ia hanya percaya aku.
“ Aris
harus pergi, Bu “.
“ Bulan
depan ujian akhir”.
“ Aris
tidak akan lulus “.
“ Kau Belum mencoba “.
“ Tidak perlu “.
“ Perlu. Dan harus “.
Ia
tetap menggeleng.
“ Please..... Jangan kecewakan ibu. Juga
yang lain “.
Ia diam. Dilepaskannya tangannya dari
genggamanku. Ia menyeka matanya yang basah dengan ujung jarinya. Sekarang aku
yang tak mampu mempertahankan kekukuhan yang kujaga sedari tadi. Butiran
bening, mengalir juga di pipiku. Ada tanya dan tanya bermunculan di benakku.
Sejauh mana Aris terlibat ? Apa yang harus kulakukan ? Melapor ? Menasihati ?
Memarahi ? Oh, my God .... Sunguh-sungguhkah ia akan pergi ? Ke mana peginya ?
Lalu bagaimana...bagaimana dengan.....ah !
“ Aris ke
kelas dulu ya Bu? Aris ketinggalan ulangan , ” ia bangkit. Hujan masih deras.
Makin dingin. Aku berharap langit tak selamanya seperti ini. Suram. Aku mau dan
aku yakin esok mentari kan bersinar cerah. Kuharap.......aku masih boleh
berharap.
“ Terima
kasih. Ibu terlalu baik buat Aris. Aris sayang sama Ibu.” Ia tersenyum tipis.
Ia tunduk ta’dzim dan mencium punggung tanganku. Kuiiringi langkahnya dan
kupandangi punggungnya yang basah di tengah guyuran hujan. Ada yang hilang di
sudut hatiku, sebelum ia benar-benar pergi.............*
Inspirated from
the real story of Hari
Langganan:
Postingan (Atom)