Cerpen : Asih
Dewayanti
Sore
di sebuah SMA. Di sini mendung begitu pekat. Hujan telah turun sejak sekian
menit yang lalu. Tepatnya sebelum sirine tanda istirahat berbunyi.
Anak-anak berhamburan keluar. Ada yang
langsung menunaikan shalat Ashar, ada pula yang ke kantin atau sekedar
duduk-duduk di teras kelas. Aku duduk di sini, di warung makan, tempat yang
sebelumnya sangat tidak biasa bagiku. Tapi dua-tiga bulan terakhir ini, aku
akrab dengan tempat ini.
Seorang laki-laki tanggung dengan seragam
putih abu-abunya duduk tepat di depanku. Matanya menerawang rintik hujan yang
mulai turun.
“ Jadi
gimana, Ris ? ” aku membuka pembicaraan. Aris, begitu ia disapa, tak menjawab.
Pandangannya masih belum beranjak dari rintik hujan di sana. Barangkali ia
sedang menghitung-hitung, akan seberapa lama lagikah hujan turun kali ini.
Kutunggu jawabannya, ia masih tak bereaksi. Hffh, rasanya aku sudah terlalu
sabar untuk bersikap selambat ini.
“
Ini tidak menyelesaikan masalah, ” kataku akhirnya. Ingin rasanya bangkit,
berdiri meninggalkannya. Aku sudah tak lagi punya energi untuk marah. Biarlah
rekanku yang lain saja yang menanganinya dengan tindakan yang lebih tegas.
“ Mau ibu
apa ? “ ia balik bertanya. Terasa sangat menantang di telingaku. Kucoba meredam
debur amarah di dadaku. Padahal aku bisa saja
membentak , atau menyeretnya ke sebuah ruang khusus untuk menghentikan
kebandelannya. Ya. Bandel, itu kata teman-temannya, juga menurut rekan-rekanku.
“
Menurutmu, apa mau ibu ? “ kataku tak kalah sinis, tapi kutekan suaraku sehalus
mungkin. Tak ada gunanya buang-buang
energi dengan marah. Aku tak bisa menyebutnya anak bandel atau sebutan lain
yang kurang pantas. Nyaris tak kutemukan catatan tentang kenakalan atau
perilaku yang dapat dikategorikan sebagai kenakalan atau kejahatan. Hanya satu
yang kutahu : tukang bolos. Bukan...bukan. Bukan bolos. Tepatnya, ia jarang
hadir di sekolah dengan alasan yang tak jelas. Kalau di sekolah, ia baik-baik
saja. Cenderung pendiam, malah. Jadi, bagaimana aku bisa menyebutnya anak nakal
? Anak bandel ?
Menjelang
ulangan semester lalu, pihak sekolah menghadirkan orangtua Aris sebagai salah
satu upaya sekolah dalam mendidik siswanya.
Informasi yang kuperoleh, Aris selalu tepat waktu baik berangkat maupun pulang
sekolah. Tak ada yang aneh. Maka kulihat ada kekecewaan dan kegeraman di mata
laki-laki kekar berkulit gelap itu. Ayah Aris. Ia tak menyangka, anaknya telah
mempermainkannya.
“ Masih tak mau bicara ? ” tanyaku lagi. Dia
menatapku tajam. Tak mampu aku membaca apa yang tersimpan dalam tatap matanya.
Ia terlalu berani dengan tatapan seperti itu.
“ Aris mau
dikeluarkan dari sekolah ya ? “ ia menyelidik. Ah, aku tak bisa
menakut-nakutinya dengan jawaban “ya”. Hanya desah nafas panjangku yang
ada. Kini ganti aku yang memandangi
rintik hujan di luar sana. Terdengar sirine tanda pembelajaran dimulai kembali.
Anak-anak kembali ke kelas masing-masing. Aris pun bangkit dari duduknya hendak
beranjak.
“ Di sini
saja,” aku menahannya. Meraih lengannya. Aku yang berpindah duduk di
sampingnya. Kuharap, ini kali terakhir aku bisa menyelesaikan masalahku yang
satu ini. Aku mau tahu semuanya. Ya, semuanya tentang Aris. Aku wali kelasnya.
Aku ingat,
Aris hadir hanya tiga atau empat hari saja dalam sepekan di sekolah. Ditambah
dengan kehadirannya pada saat ulangan umum. Jadi bagaimana mungkin aku bisa
mengisi rapornya dengan angka-angka yang pantas ? Guru mata pelajaran yang lain
pun jelas menilainya tak tuntas dalam pembelajaran. Tapi sungguh, aku tetap tak
bisa marah. Ini saat-saat terakhir sekolahnya.
Nasihat dan peringatan dari orangtua dan guru lebih dari cukup. Ah,
mestinya aku tak ambil pusing dengan hal ini. Ia toh sudah tahu resikonya nanti
: tidak lulus. Aris bukanlah siapa-siapa bagiku.
Beberapa waktu lalu aku sempat bicara
dengannya. Seperti biasa, berdua, di tempat ini juga. Disaksikan oleh banyak
pasang mata juga. Sebenarnya sejak saat itu tumbuh harapan di hatiku : Aris
akan berubah. Aris bukan anak bandel.
Aris akan menjadi lebih baik. Aku tak berharap lebih. Ia tak harus
pintar, tak harus nomor satu
Sejak saat itu , aku punya semangat yang
luar biasa setiap hendak menuju sekolah ini. Sebuah sekolah swasta dengan jam
belajar siang. Tiba-tiba saja nama anak itu menjadi magnit yang amat kuat
buatku. Sehari.........., dua hari................, seminggu............, dua
minggu. Ke mana Aris ? Ah aku kecewa. Aku kecewa karena aku berharap. Home
visit telah kulakukan. Kini giliran ibunya yang hanya bisa menyesali ulah
anaknya. Aris tak muncul juga. Ada apa denganmu, nak ? (Hm, aku jadi teringat
judul sebuah lagu pop).
Mungkin aku memang tak bisa bersikap
adil. Buat Aris, aku bahkan mau repot-repot mengirimnya buku kumpulan soal-soal
ujian melalui salah seorang temannya. Ini sungguh di luar kebiasaanku. Dari
situ aku berharap lagi, Aris akan berubah.
“ Aris mau pergi, Bu ” suara anak muda
itu mengejutkanku. Deg. Sesaat seperti berhenti jantungku. Kini aku yang
menatapnya. Hanya tampak samping. Aku mencari kesungguhan dari kalimat yang
baru saja terucap. Dia menatap lurus ke depan. Cuma rintik hujan yang ada. Kutemukan
ada beban dari tarikan nafasnya yang berat. Kentara betul ia menahan sesuatu.
“ Pergi ?
“ tanyaku.
Ia mengangguk. Tertunduk. Ada apa anak
manis ? Bagiku kau tidaklah seperti yang mereka duga. Entah dari mana rumusnya
itu. Aku teramat yakin bahwa kau adalah
anak yang baik. Kau, mungkin bahkan sangat penurut. Kau juga bukan anak yang suka menyakiti hati
orangtua, guru, atau temanmu. Bukan. Hatiku berbisik.
Aris
adalah sulung dari empat bersaudara dengan tiga adik perempuan. Semua sangat
sayang dan bangga padanya. Menyenangkan sekali
tentunya Ayahnya seorang juragan nelayan yang beringsut bangkrut karena
kalah dalam persaingan usaha. Belum lagi sempat tertipu oleh orang yang mengaku
hendak memberikan tambahan modal yang menggiurkan untuk kelangsungan usahanya.
Dan, Aris adalah anak lelak satu-satunya yang menjadi tumpuan harapan !
“ Terlalu
berat buat saya, “ katanya suatu ketika.
Hingga sampailah pada titik dimana ayahnya
merasa dikhianati. Dipermainkan. Ya, saat sekolah mengirimkan surat panggilan
untuk orangtua Aris. Maka, hal yang tak pernah diduga harus ia terima : pukulan
keras dan telak di wajahnya. Belum pernah ia melihat ayahnya sedemikian murka.
Tak ada tempat berlindung. Ketiga adik perempuannya hanya menangis melihat
jagoannya disakiti secara fisik dan mental di depan mata. Anak muda itu tak
punya kekuatan apa pun di rumah itu. Belum lagi di sekolah, ia seperti selalu
sendiri dalam keramaian.
“
Hanya Ibu yang membuat saya merasa punya arti. Hanya Ibu yang berulang-ulang meyakinkan bahwa Aris
anak baik. Aris bagai di awang-awang. Aris senang Ibu bilang begitu. Tidak
seperti guru-guru yang lain. Tapi mereka benar,Bu. Aris bukanlah anak baik
seperti yang Ibu katakan. Mereka tidak salah. Tapi Aris harus buktikan
bahwa....”
“ Bahwa
yang Ibu katakan adalah benar ?”
“ Ya. “
jawabnya mantap.
Lalu ia
mulai bercerita tentang perkenalannya dengan seorang gadis dalam sebuah
perjalanan. Gadis yang baik dan lembut hati. Lelaki tanggung ini seakan
menemukan pelabuhan tempat hatinya berlabuh. Lalu tanpa disadarinya ia terseret
jauh ke dunia coba-coba. Dunia yang dikenalnya melalui gadis pujaannya. Bersama
teman-teman sang gadis ia mulai belajar bolos, main PS, merokok dan nonton film
yang tak layak tonton. Namun demikian, Aris tak mau kehilangan kebanggaan
keluarganya. Ia harus tetap menjaga citranya sebagai anak kesayangan. Berdusta, itu jalan yang ditempuhnya.
Hari-hari
pun berlalu hingga ia tak mampu sadari di sisi mana sebenarnya dirinya kini berpijak.
Ia tak mau kehilangan “teman-teman baiknya”, juga tak ingin terlempar dari
harmoni keluarganya. Kini, Aris harus memilih.
“ Ibu,
Aris terlibat. Aris takut, ......Aris,...Aris harus pergi, Bu...”
“ Terlibat
? Terlibat apa?...M....maksudmu? “ tanyaku terbata-bata. Nyaris berteriak. Kini aku yang ketakutan. Please.....please...Jangan. ku tak berani
membayangkan, bahwa berita yang sering kulihat di media massa itu ada di depan
hidungku. Menyebut nama “narkoba” di depannya pun, aku tak punya nyali. Aku
mohon, jangan ya Allah.....
“ Aris
terlibat, Ibu. Terlibat. Ibu mengerti, kan maksudnya? Narkoba, Bu “
DAR !!!! DAR !! Tepat, bersamaan dengan
gelegar petir. Astaghfirullah, serasa copot jantungku. Tenggorokanku tercekat sesaat.
Nyaris tak mampu bernafas. Hujan semakin deras. Langit semakin pekat. Sekian
detik, aku tak tahu harus bagaimana. Pemuda jangkung berhidung mancung itu
tertunduk dalam. Ada danau bening yang disembunyikan di sudut matanya.
Basah......seperti cipratan air hujan di jendela kantin ini.
Aku
sungguh-sungguh tak tahu harus bagaimana. Harus berkata apa. Kuraih sebelah
tangannya. Kugenggam erat. Erat sekali.
Ada dua guncangan hebat beradu. Tes. Pertahanannya jebol juga. Punggung
tanganku basah oleh air matanya. Ingin aku menenangkannya, tapi justru akulah
yang takut luar biasa.
“ Apa yang
bisa ibu lakukan untukmu, Nak ?” bergetar suaraku, mencoba untuk tegar. Ya
Tuhanku, aku masih amat yakin, sesungguhnya Aris anak yang lembut hati. Ya Allah, tiba-tiba saja aku merasa sangat
takut kehilangan. Ia jadi begitu
berharga bagiku. Ia tak punya siapa-siapa di sini. Ia hanya percaya aku.
“ Aris
harus pergi, Bu “.
“ Bulan
depan ujian akhir”.
“ Aris
tidak akan lulus “.
“ Kau Belum mencoba “.
“ Tidak perlu “.
“ Perlu. Dan harus “.
Ia
tetap menggeleng.
“ Please..... Jangan kecewakan ibu. Juga
yang lain “.
Ia diam. Dilepaskannya tangannya dari
genggamanku. Ia menyeka matanya yang basah dengan ujung jarinya. Sekarang aku
yang tak mampu mempertahankan kekukuhan yang kujaga sedari tadi. Butiran
bening, mengalir juga di pipiku. Ada tanya dan tanya bermunculan di benakku.
Sejauh mana Aris terlibat ? Apa yang harus kulakukan ? Melapor ? Menasihati ?
Memarahi ? Oh, my God .... Sunguh-sungguhkah ia akan pergi ? Ke mana peginya ?
Lalu bagaimana...bagaimana dengan.....ah !
“ Aris ke
kelas dulu ya Bu? Aris ketinggalan ulangan , ” ia bangkit. Hujan masih deras.
Makin dingin. Aku berharap langit tak selamanya seperti ini. Suram. Aku mau dan
aku yakin esok mentari kan bersinar cerah. Kuharap.......aku masih boleh
berharap.
“ Terima
kasih. Ibu terlalu baik buat Aris. Aris sayang sama Ibu.” Ia tersenyum tipis.
Ia tunduk ta’dzim dan mencium punggung tanganku. Kuiiringi langkahnya dan
kupandangi punggungnya yang basah di tengah guyuran hujan. Ada yang hilang di
sudut hatiku, sebelum ia benar-benar pergi.............*
Inspirated from
the real story of Hari